Rabu, 30 Maret 2011
Regulasi Siklus Sel pada Eukariot Multiseluler
Pada saat suatu sel tumbuh, membran sel serta dinding sel (khusus pada tumbuhan) maupun kebanyakan komponen, sitosolnya bertambah ukuran dan jumlahnya. Ketika mencapai suatu massa kritis, sel akan membelah menghasilkan dua sel turunan yang lebih kecil. Jika kondisi sesuai maka sel turunan itu akan tumbuh dan membelah juga pada saatnya.Terkait pembelahan sel tersebut ada dua proses penting yang harus berlangsung teliti dan terkoordinasi. Proses itu adalah penggandaan materi genetik dan pembagian hasil penggandaan itu kepada ke dua sel turunan. (Gardner, 1991)
Waktu dan laju pembelahan sel di bagian tubuh yang berbeda pada tumbuhan atau hewan bersifat krusial bagi pertumbuhan, perkembangan dan pemeliharaan tubuh yang normal. Frekuensi pembelahan sel bervariasi menurut tipe sel. Perbedaan-perbedaan siklus sel ini merupakan hasil regulasi di tingkat molekuler. (Campbel, 2010
A.Regulasi Siklus Sel pada Eukariot Multiseluler
Pembelahan sel, seperti halnya proses biologi yang lain, berada dibawah kontrol genetis. Beberapa gen harus mengatur proses pembelahan sel ini sebagai respon terhadap sinyal intra sel, inter sel, dan lingkungan. Gen pengatur ini tidak diragukan lagi merupakan subjek mutasi, seperti gen-gen lain. Mutasi yang meniadakan fungsi gen pengatur ini dapat mengakibatkan pembelahan sel yang abnormal-yang paling ekstrim, tidak memiliki kemampuan untuk membelah diri sama sekali atau tidak mampu berhenti membelah diri.
Organisme eukariot multiseluler ada satu dimensi baru yang belum ditemukan di kalangan eukariot uniseluler, terkait banyaknya jumlah sel yang bahkan mungkin sudah mengalami diferensiasi dan spesialisasi. Dimensi baru itu adalah kebutuhan akan adanya komunikasi antar sel (Gardner, dkk., 1991).
Siklus sel pada sel eukaryotik merupakan suatu tahapan kompleks meliputi penggandaan materi genetik, pengaturan waktu pembelahan sel, dan interaksi antara protein dan enzim1. Siklus sel pada sel eukaryotik dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu: G1 (Gap 1), S (Sintesis), G2 (Gap 2), dan M (Mitosis). Tahap G1 merupakan selang antara tahapan M dengan S. Pada tahap ini sel terus tumbuh dan melakukan persiapan untuk sintesis DNA. Sel akan melakukan sintesis DNA dan terjadi proses replikasi kromosom pada saat berada di tahap S. Pada tahap G2, sel yang telah mereplikasi kromosom akan menduplikasi keseluruhan komponen seluler lainnya. Selain itu terjadi pula sintesis mRNA dan beberapa protein tertentu4. (Murti, dkk, 2007)
Urutan peristiwa siklus sel pada organisme eukariot ini diarahkan oleh system control siklus sel (cell cycle control system) tersendiri, satu set molekul yang beroperasi secara siklis dalam sel dan memicu sekaligus mengoordinasi peristiwa-peristiwa kunci dalam siklus sel.
Gambar 2.2 Analogi mekanis bagi system control siklus sel (Campbel, 2010
B. Molekul-molekul Regulasi Siklus Sel
Fluktuasi ritmik dalam hal kelimpahan dan aktivitas dari molekul-molekul control siklus sel mengatur langkah urutan peristiwa siklus sel. Molekul-moleul peregulasi ini terutama terdiri dari dua tipe protein, yaitu protein kinase dan protein siklin. Protein kinase adalah enzim yang mengaktivasi atau menginaktivasi (menon-aktifkan) protein lain dengan cara memfosforilasinya. Protein kinase tertentu memberikan sinyal maju terus pada titik pemeriksaan G1 dan G2.
Hal senada juga dinyatakan oleh Gardner (1991), bahwa hingga saat ini telah diketahui ada dua macam protein yang berfungsi sebagai signal pada ke dua titik selama siklus sel eukariot sebagaimana yang telah dikemukakan. Protein signal itu adalah cyclin dan protein kinase yang disebut kinase pp34. Protein cyclin mengalami siklus sintesis dan akumulasi selama Gl dan G2, serta mengalami degradasi selama fase M (dan barangkali juga segera setelah titik start). Protein kinase pp34 adalah protein yang memiliki gugus fosfat pada rantai samping asam amino spesifik, jadi singkatan pp itu adalah phosphoprotein; sedangkan 34 adalah angka berat molekul yang menunjuk kepada 34000. Protein kinase pp34 sudah diketahui merupakan produk antara lain dari gen cdc2 S. pombe dan gen CDC28 S. cerevisiae. Sebagai dua komponen utama mitosis promoting factor (MPF), protein cyclin dan pp34. sebenarnya sudah ditemukan pada Xenopus. MPF memang pertama kali ditemukan pada Aewyus, yang jika diinjeksikan ke dalam oosit Xenopus, terbukti merangsang oosit memasuki fase M.
Dewasa ini sudah jelas diketahui bahwa asosiasi antara protein cyclin dan protein kinase pp34, berlangsung pada waktu (titik) paling awal dari mitosis maupun pada waktu (titik) yang mendahului sintesis DNA (titik Start). Asosiasi di titik paling awal dari mitosis itulah yang pertama kali ditemukan pada Xenopus dan yang disebut sebagai MPF. Dalam hubungan ini protein cyclin yang berasosiasi dengan pp34 di titik yang mendahului fase M disebut M-cyclin, sedangkan yang berasosiasi dengan pp34 di titik Start disebut Gl-cyclin. Lebih lanjut telah diketahui pula bahwa regulasi inisiasi replikasi DNA maupun regulasi awal mitosis berkaitan dengan fosforilasi/defosforilasi sebuah residu asam amino tirosin, khususnya Tyr 15 (asam amino ke 15 dari ujung NH2) dari pp34.
Komponen-komponen yang terlibat pada regulasi siklus sel eukariot tentu tidak hanya protein cyclin dan protein kinase pp34, karena masih ada juga komponen lain. Akan tetapi sangat jelas terlihat bahwa ke dua macam protein itu tentu merupakan komponen kunci regulasi siklus sel tsb; bahkan protein-protein homolognya sudah ditemukan pada beberapa eukariot seperti bintang laut, bulu babi, katak dan bahkan manusia (Gardner, dkk. 1991, dalam Corebima, 2008).
Pada saat ini memang sudah diketahui ada sejumlah faktor yang bekerja merangsang atau menghambat pertumbuhan dan pembelahan tipe-tipe sel yang spesifik. Akan tetapi belum diketahui bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi pembelahan sel di tingkat molekuler. Dalam hubungan ini belum seluruh gen yang terlibat pada proses regulasi itu berhasil diidentifikasi.
Saat ini belum dikeetahui rincian tentang bagaimana pembelahan sel dikontrol terutam untuk pembelahan sel binatang yang lebih tinggi tingkatannya, kitapun juga belum berhasil mengidentifikasi seluruh gen yang mengatur proses ini pada eukaryote yang lebih tinggi. Meskipun begitu, sebuah penelitian terbaru mengenai gen virus yang disebut oncogenes (dari bahasa Yunani onkos yang berarti tumor), yang dapat menyebabkan hilangnya kontrol pembelahan sel normal, telah berhasil mengidentifikasi seperangkat gen homologous yang disebut protooncogenes didalam genome binatang normal, termasuk manusia. Sel Protooncogenes normal ini dapat diubah menjadi oncogenes sel yang menyebabkan tumor melalui mutasi atau menjadi berkaitan dengan urutan pengaturan baru melalui proses rekombinasi. Hal ini dan juga observasi terkait mengindikasikan bahwa fungsi sel normal protooncogenes melibatkan aspek spisifik pembelahan sel terkontrol. Pada kenyataannya, tampak terlihat bahwa terobosan dalam memahami kontrol normal pembelahan sel dapat diperoleh melalui penelitian tentang gangguan kontrol normal yang terdapat dalam sel kanker.
C. Protoonkogen Ditemukan atas Dasar Telaah Onkogen Virus
Protoonkogen adalah gen yang dimiliki sel normal yang berfungsi mengontrol proliferasi sel secara normal (Russel, 1992, dalam Corebima, 2008). Telaah terhadap onkogen-onkogen virus (v-onc) yang dapat menyebabkan hilangnya kontrol normal terhadap pembelahan sel, sudah terbukti membantu identifikasi adanya seperangkat gen pada genom hewan termasuk genom manusia yang terbukti homolog (Gardner dkk., 1991, dalam Corebima, 2008). Berbagai onkogen virus ternyata mempunyai banyak kesamaan dengan berbagai perangkat gen homolog pada genom hewan termasuk manusia. Perangkat gen yang homolog itu adalah gen-gen yang normal, dan disebut protoonkogen. Seperti halnya gen-gen normal pada umumnya, protoonkogen juga dapat mengalami mutasi karena berbagai sebab. Gen mutan protoonkogen itu disebut onkogen seluler (c-onc). Onkogen seluler ini tidak dapat mengontrol pembelahan sel secara normal.
Pada tahun 1970-an J.M. Bishop dan H. Varmus serta sejumlah peneliti lain telah menunjukkan bahwa sel-sel hewan yang normal ternyata mengandung gen-gen yang memiliki urut-urutan nukleotida yang sangat mirip dengan urut-urutan nukleotida onkogen virus. Lebih lanjut, menurut Corebima (2008) pada awal 1980-an R.A. Weinberg dan M. Wigler secara terpisah juga menunjukkan bahwa beberapa sel tumor manusia mengandung onkogen, dan onkogen-onkogen tsb. sangat mirip dengan onkogen-onkogen virus yang telah dikarakterisasi sebelumnya; demikian pula onkogen-onkogen manusia itu terbukti sangat mirip dengan gen-gen yang terdapat pada sel-sel normal. Gen-gen pada sel-sel normal yang sangat mirip dengan onkogen-onkogen itulah yang disebut protoonkogen sebagaimana yang telah dikemukakan; sedangkan onkogen-onkogen itu adalah c-onc.
Seperti diketahui, penyebab mutasi bermacam-macam, termasuk karena virus. Dalam hubungan ini diketahui sekurang-kurangnya terdapat tiga macam mekanisme yang berakibat terjadinya overekspresi produk gen. Onkogen seluler mungkin memperoleh sebuah promoter baru karena sesuatu sebab, misalnya karena virus, yang selanjutnya menyebabkan sesuatu lokus yang semula tidak aktif menjadi teraktifkan. Satu contoh yang terkait dengan mekanisme ini adalah leukosis burung (avion leucosis), yang terjadi karena insersi promoter virus yang kuat di dekat sebuah protoonkogen; dan sebagai akibatnya adalah terjadinya peningkatan produksi RNAd maupun peningkatan jumlah produk gen. Overekspresi produk gen dapat juga terjadi karena adanya tambahan urut-urutan regulator baru, termasuk enhancer, ke arah hulu. Amplifikasi protoonkogen dapat juga berakibat terjadinya overekspresi produk gen, disamping kedua mekanisme yang telah disebutkan. Sebagai contoh misalnya saat ini telah diketahui bahwa pada beberapa tumor manusia, ternyata protoonkogen c-myc telah teramplifikasi yang menghasilkan jumlah kopi hingga sebanyak beberapa ratus buah.
Efek mutasi terhadap protoonkogen bermacam-macam, termasuk yang hanya menyebabkan perubahan satu nukleotida (mutasi titik) yang berakibat terjadinya pergantian macam asam amino pada posisi tertentu. Satu contoh semacam itu misalnya ditemukan pada mutasi yang terjadi terhadap protoonkogen ras (Klug dan Cummings, 2000, dalam Corebima, 2008). Mutasi titik tertentu yang terjadi pada protoonkogen ras ternyata hanya menyebabkan terjadinya pergantian satu macam asam amino pada posisi 12 atau 61 dari ke 189 asam amino penyusun protein produk protoonkogen ras sebagaimana yang terlihat masing-masing pada onkogen K-ras, H-ras, dan N-ras.
Gambar 2.3 Contoh Mutasi Gen pada Protoonkogens Ras serta Dampaknya yang menyebabkan terjadinya pergantian satu macam asam amino
D. Identifikasi Onkogen-Onkogen Seluler
Identifikasi onkogen-onkogen seluler pada genom hewan tinggi termasuk manusia dilakukan dengan bantuan dua macam pendekatan eksperimental (Gardner, dkk., 1991, dalam Corebima, 2008). Pendekatan pertama adalah dengan cara mencari urut-urutan DNA seluler yang dapat berhibridisasi dengan onkogen virus hewan; sedangkan pendekatan yang kedua adalah dengan cara mencari onkogen-onkogen tersebut. secara langsung pada genom sel-sel kanker melalui eksperimen transfeksi. Pada eksperimen transfeksi ini, DNA sel-sel tumor diisolasi kemudian ditambahkan kepada sel-sel kultur jaringan, untuk melihat apakah DNA tsb. akan mengubah beberapa sel itu menjadi sel-sel kanker.
Berikut ini akan dipaparkan langkah-langkah kerja pada pendekatan pertama khusus yang terkait identifikasi onkogen src. Seperti diketahui, onkogen pertama yang diidentifikasi pada genom RSV yang diisolasi dari ayam adalah onkogen src atau yang lazimnya disebut v-onc src. Onkogen src virus tsb. selanjutnya digunakan sebagai templat pada proses transkripsi balik yang dikatalisasi oleh enzim reverse transcriptase. Fosfor asam fosfat nukleotida yang digunakan pada proses transkripsi balik itu sudah diberi label radioisotope 32P. Oleh karena itu cDNA yang terbentuk melalui transkripsi balik itu bersifat radioaktif, dan cDNA yang bersifat radioaktif itu selanjutnya digunakan sebagai pelacak (probe) pada eksperimen hibridisasi Southern Blotting. Pada ekksperimen hibridisasi itu cDNA tsb. dihibridisasikan dengan unting tunggal genom DNA normal (setelah heliks ganda dipisahkan menjadi unting-unting tunggal). Hasil hibridisasi Southern Blotting memperlihatkan bahwa cDNA tersebut berhibridisasi dengan fragmen-fi-agmen restriksi spesifik pada DNA genom di setiap kali eksperimen. Hasil yang sama selalu ditemukan pada DNA genom ayam apapun. Lebih lanjut urut-urutan DNA genom yang berhibridisasi dengan cDNA tersebut selalu ditemukan juga pada seluruh Vertebrata, bahkan pada D. melanogaster.
Eksperimen-eksperimen lanjutan memperlihatkan bahwa DNA genom yang berasal dari sel-sel normal seluruh hewan tinggi mengandung urut-urutan DNA yang secara esensial berhibridisasi dengan seluruh urut-urutan onkogen retrovirus; bahkan pada beberapa kasus, urut-urutan yang homolog terhadap v-onc (misalnya ras) ditemukanjuga pada eukariot rendah semacam S. cerevisiae. Dalam bubungan ini sudah dibuktikan juga bahwa DNA genom yang berhibridisasi dengan cDNA itu bukanlah urut-urutan provirus yang terintegrasi dengan DNA genom, tetapi memang benar-benar merupakan urut-urutan DNA genom sel. Sebagaimana yang telah dikemukakan, urut-urutan DNA genom tersebut itulah yang disebut sebagai cellular oncogen atau c-onc.
Pendekatan deteksi cellular oncogen yang kedua adalah melalui eksperimen transfeksi. Pendekatan eksperimen transfeksi ini didasarkan pada kemampuan onkogen untuk mengubah sel-sel normal (tidak bersifat kanker) yang ditumbuhkan pada kultur menjadi sel-sel kanker. Fenomena perubahan semacam itu disebut sebagai transformasi (jangan disamakan dengan transformasi rekombinasi).
Gambar 2.4 Prosedur Eksperimen Transfeksi yang Mengubah (Mentransformasi) Sel-Sel Normal Menjadi Sel-Sel Kanker
Fenomena transformasi sel-sel normal menjadi sel-sel kanker mengindikasikan telah terjadinya mutasi terhadap protoonkogen menjadi onkogen seluler, akibat pengaruh onkogen seluler pada eksperimen transfeksi. Berkenaan dengan hal ini Lewin , 2000, dalam Corebima, 2008 menyatakan bahwa prinsip umum kerja eksperimen transfeksi adalah bahwa substitusi pada urut-urutan pengkode dapat mengubah suatu protoonkogen menjadi suatu onkogen.
Eksperimen transfeksi ini biasanya berupa transfeksi DNA sel-sel NIH-3T3 (Turner, dkk., 1997; Lewin, 2000, dalam Corebima, 2008). Sel-sel ini adalah suatu galur sel permanen dari fibroblast mencit (berupa jaringan ikat yang tumbuh baik pada kondisi in vitro). Sel-sel NIH-3T3 ini sudah terbukti tidak berkembang menjadi sel-sel tumor manakala diinjeksikan ke dalam tubuh mencit yang tidak memiliki system imun. Pola pertumbuhan sel-sel NIH-3T3 pada kultur bersifat normal (tidak bersifat kanker). Dalam hubungan ini sel-sel NIH-3T3 ditransfeksikan dengan DNA yang hendak diperiksa. Cara yang dilakukan adalah DNA itu dituangkan ke atas sel-sel sebagai suatu endapan halus, sehingga memungkinkan beberapa sel mengambil dan mengekspresikan DNA asing itu. Apabila DNA asing itu mengandung sesuatu onkogen, maka pola pertumbuhan sel-sel pada kultur akan berubah, yang memperlihatkan karakteristik sel-sel kanker.
Kelebihan dari eksperimen transfeksi yang menggunakan sel-sel NIH-3T3 akan dipaparkan lebih lanjut (Turner, dkk., 1997, dalam Corebima, 2008): a) Uji ini adalah suatu uji kultur sel dan bukan suatu uji hewan utuh, dan dengan demikian sesuai untuk memeriksa sejumlah besar sampel. b) Hasil diperoleh jauh lebih cepat disbanding pada uji in vivo. c) Sel-sel NIH-3T3 baik digunakan untuk mengambil/menangkap serta mengekspresikan DNA asing. d) Secara teknis uji ini merupakan suatu prosedur sederhana dibanding pada uji in vivo.
Di lain pihak kekurangan dari eksperimen transfeksi yang menggunakan sel-sel NIH-3T3 adalah seperti di bawah ini (Turner, dkk., 1997, dalam Corebima, 2008): a) Beberapa onkogen mungkin bersifat spesifik terhyadap tipe-tipe sel tertentu sehingga tidak dapat dideteksi dengan fibroblast mencit. b) Gen-gen yang berukuran besar mungkin akan hilang karena kurang sesuai ditransfeksikan secara utuh. c) Sel-sel HIH-3T3 bukan merupakan sel-sel "normal" karena merupakan suatu galur sel permanen, sehingga gen yang dilibatkan pada tahap awal karsinogenesis mungkin hilang. d) Uji ini tergantung pada gen tertransfeksi yang bekerja dalam suatu pola gen dominan, sehingga tidak akan mendeteksi gen-gen suppressor tumor.
E. Produk Protoonkogen adalah Regulator Utama Pembelahan Sel
Selama beberapa tahun terakhir, sejumlah besar informasi tentang struktur dan fungsi berbagai protoonkogen telah terungkap. Satu-satunya sifat yang menyatukan gen-gen ini sebagai satu kelompok adalah bahwa semuanya memainkan peran sentral terhadap control pembelahan sel. Terkait dengan peran berbagai protonkogen terhadap control pembelahan sel, secara normal gen-gen itu berfungsi pada tingkat rendah, tetapi jika sudah berubah (baca onkogen seluler atau c-onc) maka gen-gen tersebut berfungsi pada tingkat yang tinggi (Tamarin dkk., 1991, dalam Corebima, 2008). Pemahaman tentang peran dari protoonkogen dan onkogen seluler semacam itu juga ditemukan pada Klug dan Cummings, 2000, dalam Corebima, 2008. Dikatakan bahwa dalam rangka meregulasi pembelahan sel, protoonkogen-protoonkogen ataupun produknya harus mengalami inaktivasi (baca sebagai aktivasi pada tingkat yang rendah); dan jika protoonkogen-protonkogen itu secara permanen digiatkan (baca sebagai aktivasi pada tingkat yang tinggi), maka terjadilah pembelahan sel yang tidak terkendali yang berakibat terbentuknya tumor. Lewin (2000) juga menyatakan bahwa protoonkogen-protoonkogen ras dapat diaktifkan oleh mutasi; dikatakan pula bahwa insersi, translokasi, atau amplifikasi dapat mengaktifkan protoonkogen-protoonkogen. Demikian pula, Turner, dkk., (1997, dalam Corebima, 2008) menyatakan bahwa versi normal dari onkogen seluler yang disebut protoonkogen, jika mengalami mutasi maka akan menjadi overaktif; dan karena bersifat overaktif, secara genetic onkogen-onkogen seluler dominan terhadap protoonkogen, dan itulah alasannya bahwa sekalipun hanya satu kopi, tetapi satu-satunya kopi itu sudah mampu membuat perubahan perilaku sel.
Dalam hubungan ini terlihat bahwa satu-satunya alasan dugaan peran protoonkogen terhadap control pembelahan sel, adalah bahwa dari laporan-laporan telaah sebelumnya, onkogen-onkogen dari protoonkogen-protoonkogen terkait memang bersifat onkogenik; dalam arti bahwa onkogen-onkogen itu menimbulkan transformasi pada eksperimen transfeksi. Oleh karena itu memang beralasan kalau Lewin, 2000, dalam Corebima, 2008 menyatakan bahwa kita dapat bertanya tentang aktivitas apa yang dilaksanakan oleh produk-produk protoonkogen dalam sel yang normal, demikian pula tentang bagaimana aktivitas produk-produk protoonkogen yang telah berubah pada sel yang mengalami transformasi. Lebih lanjut dipertanyakan pula, apakah beberapa protoonkogen merupakan regulator perkembangan normal, sebaliknya malfungsi dari protoonkogen itu berakibat terhadap penyimpangan pertumbuhan yang termanifestasi sebagai tumor; bahkan dikatakan lagi bahwa sekalipun kita sudah menyimak beberapa contoh hubungan antara protoonkogen dan fungsi sebagai regulator perkembangan normal, tetapi kita belum memiliki suatu pemahaman yang sistematik terhadap hubungan itu.
Berbagai protoonkogen tampaknya dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok (Gardner, dkk., 1991, dalam Corebima, 2008). Kelompok pertama adalah protoonkogen ysmg mengkode factor pertumbuhan (misalnya c-sis) atau yang mengkode reseptor factor pertumbuhan (misalnya c-fms dan c-erbB). Kelompok kedua adalah protoonkogen yang mengkode protein pengikat GTP yang memiliki aktivitas GTPase (misalnya c-H-ras, c-K-ras dan N-ras). Kelompok protoonkogen ketiga adalah yang mengkode protein kinase, berupa protein kinase yang spesifik tirosin atau yang spesifik serin-threonin. Protookogen pengkode protein kinase spesifik tirosin adalah c-abi, c-fes, c-fgr, c-fps, c-ros, c-src dan c-yes; sedangkan yang mengkode protein kinase spesifik serin-threonin adalah c-mil, c-mos, dan c-raf. Di lain pihak kelompok protoonkogen keempat adalah pengkode protein regulator transkripsi seperti c-fos, c-jun, c-erbA, c-myc, serta mungkin c-myb, dan c-ets.
Pengelompokkan protoonkogen pada somber rujukan lain dapat tidak tepat sama. Satu contoh pengelompokkan yang tidak tepat sama itu ditunjukkan berikut. Berikut ini dikemukakan mekanisme kerja protoonkogen yang diyakini memperlihatkan peran dari gen-gen tersebut terhadap control pembelahan sel eukariot. Paparan tentang peran dari gen-gen terutama didasarkan pada Gardner, dkk, 1991 dalam Corebima, 2008, yang dilengkapi dengan informasi sumber lain. Sebagaimana yang telah dikemukakan, mekanisme kerja dari sebagian protoonkogen (individual maupun kelompok) memperlihatkan perannya yang jelas terhadap control pembelahan sel, tetapi sebagian lainnya kurang jelas.
Gen pengkode factor pertumbuhan seperti protoonkogen sis mengkode sebagian factor pertumbuhan PDGF (platelet-derived growth factor) yang dikeluarkan kalau ada jaringan yang terluka. Dalam hal ini satu dari antara ke dua polipeptida penyusun protein PDGF dikode oleh protoonkogen sis. Seperti diketahui, PDGF hanya berpengaruh terhadap satu tipe sel yaitu sel-sel fibroblast, yang menjadi bagian dari sistem penutupan luka. Hubungan antara PDGF sudah diungkap pada kajian eksperimental; gen PDGF yang telah diklon dimasukkan ke dalam sel fibroblast yang pada keadaan normal tidak membuat PDGF, dan sebagai akibatnya adalah bahwa sel fibroblast itu mengalami transformasi menjadi sel tumor (Russel, 1992, dalam Corebima, 2008). Sebagaimana yang telah dikemukakan, gen pengkode protein reseptor factor pertumbuhan adalah erbB dan fms. Prototip struktur dari produk protoonkogen seperti erbB dan fins yang memiliki aktivitas protein kinase spesifik tirosin intraseluler ditunjukkan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Bagan Struktur Prototip Reseptor Faktor Pertumbuhan Transmembran yang Memiliki Aktivitas Protein Tirosin Kinase
Peran dari reseptor factor pertumbuhan diduga bersangku-paut dengan transfer signal dari permukaan sel menuju ke inti sel (Gardner, dkk., 1991, dalam Corebima, 2008). Dalam hal ini reseptor tersebut mengikat factor pertumbuhan pada tapak pengikatan yang terdapat di permukaan luar sel. Lebih lanjut reseptor itu mengirim sebuah signal menuju ke tapak tirosin kinase di bagian dalam sel, terutama melalui suatu transisi alosterik. Dampak berikutnya adalah tirosin kinase teraktivasi sehingga menginduksi fosforilasi protein intraseluler utama. Aktivasi tapak tirosin kinase mungkin melibatkan autofosforilasi, karena protein kinase reseptor itu sudah diketahui mengalami autofosforfilasi yang reversibel dari residu tirosin spesifik di dekat ujung COOH dari protein dalam sel.
Protein protoonkogen src maupun produk dari beberapa protoonkogen lain yang masih tergolong sekelompok, juga memiliki aktivitas protein kinase yang spesifik tirosin., sekalipun tidak bersifat transmembran. Protein kinase yang dikode oleh protoonkogen src, sehingga gen itu disebut juga sebagai protoonkogen pp60src (Russel, 1992, dalam Corebima, 2008). Seperti diketahui enzim protein kinase berfungsi mengkatalisasi penambahan gugus fosfat terhadap protein. Terkait protein kinase spesifik tirosin, enzim itu mengkatalisasi penambahan gugus fosfat pada asam amino tirosin yang menjadi komponen protein. Dilaporkan juga bahwa protein yang mengalami fosforilasi pada residu tirosinnya tampaknya bersangkut-paut dengan wujud sitoskeleton (wujud sel yang normal berbeda dari sel yang telah mengalami transformasi), serta dilibatkan pula pada proses glikolisis. Protein-protein itu berasosiasi dengan permukaan sitoplasmik dari membrane plasma. Protein-protein kinase itu juga terlibat dalam transduksi signal, tetapi signal apa yang direspon maupun bagaimana transmisinya belum diketahui, sekalipun sangat beralasan untuk menduga bahwa fosforilasi target protein intraseluler yang utama juga merupakan cara kerja produk-produk protoonkogen itu.
Sebagaimana yang telah dikemukakan, onkogen-onkogen (termasuk protoonkogen) ras adalah gen pengkode protein pengikat GTP yang memperlihatkan aktivitas GTPase, dan yang mungkin analog dengan protein G. Lewin (2000, dalam Corebima, 2008) menyatakan bahwa produk protoonkogen ras adalah protein pengikat nukleotida berbasa guanine yang monomerik, yang aktif bilamana berikatan dengan GTP, sedangkan menjadi tidak aktif jika berikatan dengan GDP. Turner dkk., (1997, dalam Corebima, 2008) juga menyatakan bahwa protein produk protoonkogen normal berikatan dengan GTP jika teraktivasi, dan menjadi tidak teraktivasi oleh aktivitas GTPase sendiri; sebaliknya pada onkogen ras (yang sudah mengalami mutasi titik) aktivitas GTPase terhambat, sehingga protein produk onkogen terus aktif.
Produk dari protoonkogen jun dan fos sudah diketahui merupakan komponen protein inti dan berperan sebagai activator dari proses transkripsi gen. Protein produk dari protoonkogen jun dikenal seba factor transkripsi AP-1 (Gardner, dkk., 1991, dalam Corebima, 2008). Protein itu pertama kali diidentifikasi sebagai suatu factor di dalam inti yang dibutuhkan untuk transkripsi yang diinduksi oleh senyawa penyebab tumor tertentu. Faktor transkripsi AP-1 atau yang disebut juga sebagai pjun sudah diketahui secara spesifik berikatan pada elemen enhancer genom virus SV40 maupun pada enhancer gen HA metallothionein manusia. Tapak pengikatan pjun sudah diketahui pula memiliki urut-urutan consensus TGACTCA. Lebih lanjut bahkan saat ini sudah diketahui pula bahwa produk protoonkogen fos ternyata membentuk suatu kompleks yang kuat dengan produk protoonkogen pjun.
Protein produk dari protoonkogen-protoonkogen itu kaya akan asam amino leusin, yang mempunyai potensi untuk membentuk daerah-daerah heliks α yang memiliki rantai samping menjulur keluar dari permukaan heliks yang sama pada interval-interval yang beraturan. Protein-protein semacam itu diduga berinteraksi dengan cara membentuk apa yang disebut sebagai ritsleting leusin atau "leucine zipper".
A.Regulasi Siklus Sel pada Eukariot Multiseluler
Pembelahan sel, seperti halnya proses biologi yang lain, berada dibawah kontrol genetis. Beberapa gen harus mengatur proses pembelahan sel ini sebagai respon terhadap sinyal intra sel, inter sel, dan lingkungan. Gen pengatur ini tidak diragukan lagi merupakan subjek mutasi, seperti gen-gen lain. Mutasi yang meniadakan fungsi gen pengatur ini dapat mengakibatkan pembelahan sel yang abnormal-yang paling ekstrim, tidak memiliki kemampuan untuk membelah diri sama sekali atau tidak mampu berhenti membelah diri.
Organisme eukariot multiseluler ada satu dimensi baru yang belum ditemukan di kalangan eukariot uniseluler, terkait banyaknya jumlah sel yang bahkan mungkin sudah mengalami diferensiasi dan spesialisasi. Dimensi baru itu adalah kebutuhan akan adanya komunikasi antar sel (Gardner, dkk., 1991).
Siklus sel pada sel eukaryotik merupakan suatu tahapan kompleks meliputi penggandaan materi genetik, pengaturan waktu pembelahan sel, dan interaksi antara protein dan enzim1. Siklus sel pada sel eukaryotik dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu: G1 (Gap 1), S (Sintesis), G2 (Gap 2), dan M (Mitosis). Tahap G1 merupakan selang antara tahapan M dengan S. Pada tahap ini sel terus tumbuh dan melakukan persiapan untuk sintesis DNA. Sel akan melakukan sintesis DNA dan terjadi proses replikasi kromosom pada saat berada di tahap S. Pada tahap G2, sel yang telah mereplikasi kromosom akan menduplikasi keseluruhan komponen seluler lainnya. Selain itu terjadi pula sintesis mRNA dan beberapa protein tertentu4. (Murti, dkk, 2007)
Urutan peristiwa siklus sel pada organisme eukariot ini diarahkan oleh system control siklus sel (cell cycle control system) tersendiri, satu set molekul yang beroperasi secara siklis dalam sel dan memicu sekaligus mengoordinasi peristiwa-peristiwa kunci dalam siklus sel.
Berdasarkan kajian terhadap mutan-mutan siklus pembelahan sel (cdc) Schizosaccharomyces pombe dan Saccharomyces cerevisiae maupun pembelahan embrional awal Xenopus laevis menunjukkan bahwa ada dua titik komitmen penting selama siklus sel. Seperti yang terlihat pada gambar 2.1 bahwa titik pertama yang disebut start berada atau berlangsung di dekat bagian akhir dari fase Gl. Pada titik pertama ini suatu sel memastikan diri untuk mulai melakukan inisiasi sintesis DNA yang segera akan berlangsung di awal fase S. Di lain pihak titik kedua berada atau berlangsung di bagian paling awal dari fase M, yang memastikan bahwa sebentar lagi akan terjadi kondensasi kromosom dan pemisahan kromatid. Dewasa ini sudah diketahui pula bahwa yang berfungsi sebagai signal pada ke dua titik itu adalah protein-protein regulator tertentu. (Gardner, 1991)
Ditambahkan oleh Campbel (2010), siklus sel diregulasi pada titik-titik pemeriksaan (checkpoint) tertentu oleh sinyal internal maupun sinyal internal. Titik pemeriksaan pada siklus sel adalah titik control saat sinyal berhenti dan sinyal maju terus dapat meregulasi siklus. Sel hewan umumnya memiliki sinyal berhenti internal yang menghentikan siklus sel pada titik pemeriksaan, sampai waktunya sinyal ini dikalahkan oleh sinyal maju terus. Titik pemeriksaan ini tidak hanya menerima sinya dari dalam sel, namun juga dari dai luar sel. Tiga titik pemeriksaan utama ditemukan pada fase G1, G2, dan M, seperti yang terlihat pada gambar 2.2 dibawah ini.Gambar 2.2 Analogi mekanis bagi system control siklus sel (Campbel, 2010
B. Molekul-molekul Regulasi Siklus Sel
Fluktuasi ritmik dalam hal kelimpahan dan aktivitas dari molekul-molekul control siklus sel mengatur langkah urutan peristiwa siklus sel. Molekul-moleul peregulasi ini terutama terdiri dari dua tipe protein, yaitu protein kinase dan protein siklin. Protein kinase adalah enzim yang mengaktivasi atau menginaktivasi (menon-aktifkan) protein lain dengan cara memfosforilasinya. Protein kinase tertentu memberikan sinyal maju terus pada titik pemeriksaan G1 dan G2.
Hal senada juga dinyatakan oleh Gardner (1991), bahwa hingga saat ini telah diketahui ada dua macam protein yang berfungsi sebagai signal pada ke dua titik selama siklus sel eukariot sebagaimana yang telah dikemukakan. Protein signal itu adalah cyclin dan protein kinase yang disebut kinase pp34. Protein cyclin mengalami siklus sintesis dan akumulasi selama Gl dan G2, serta mengalami degradasi selama fase M (dan barangkali juga segera setelah titik start). Protein kinase pp34 adalah protein yang memiliki gugus fosfat pada rantai samping asam amino spesifik, jadi singkatan pp itu adalah phosphoprotein; sedangkan 34 adalah angka berat molekul yang menunjuk kepada 34000. Protein kinase pp34 sudah diketahui merupakan produk antara lain dari gen cdc2 S. pombe dan gen CDC28 S. cerevisiae. Sebagai dua komponen utama mitosis promoting factor (MPF), protein cyclin dan pp34. sebenarnya sudah ditemukan pada Xenopus. MPF memang pertama kali ditemukan pada Aewyus, yang jika diinjeksikan ke dalam oosit Xenopus, terbukti merangsang oosit memasuki fase M.
Dewasa ini sudah jelas diketahui bahwa asosiasi antara protein cyclin dan protein kinase pp34, berlangsung pada waktu (titik) paling awal dari mitosis maupun pada waktu (titik) yang mendahului sintesis DNA (titik Start). Asosiasi di titik paling awal dari mitosis itulah yang pertama kali ditemukan pada Xenopus dan yang disebut sebagai MPF. Dalam hubungan ini protein cyclin yang berasosiasi dengan pp34 di titik yang mendahului fase M disebut M-cyclin, sedangkan yang berasosiasi dengan pp34 di titik Start disebut Gl-cyclin. Lebih lanjut telah diketahui pula bahwa regulasi inisiasi replikasi DNA maupun regulasi awal mitosis berkaitan dengan fosforilasi/defosforilasi sebuah residu asam amino tirosin, khususnya Tyr 15 (asam amino ke 15 dari ujung NH2) dari pp34.
Komponen-komponen yang terlibat pada regulasi siklus sel eukariot tentu tidak hanya protein cyclin dan protein kinase pp34, karena masih ada juga komponen lain. Akan tetapi sangat jelas terlihat bahwa ke dua macam protein itu tentu merupakan komponen kunci regulasi siklus sel tsb; bahkan protein-protein homolognya sudah ditemukan pada beberapa eukariot seperti bintang laut, bulu babi, katak dan bahkan manusia (Gardner, dkk. 1991, dalam Corebima, 2008).
Pada saat ini memang sudah diketahui ada sejumlah faktor yang bekerja merangsang atau menghambat pertumbuhan dan pembelahan tipe-tipe sel yang spesifik. Akan tetapi belum diketahui bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi pembelahan sel di tingkat molekuler. Dalam hubungan ini belum seluruh gen yang terlibat pada proses regulasi itu berhasil diidentifikasi.
Saat ini belum dikeetahui rincian tentang bagaimana pembelahan sel dikontrol terutam untuk pembelahan sel binatang yang lebih tinggi tingkatannya, kitapun juga belum berhasil mengidentifikasi seluruh gen yang mengatur proses ini pada eukaryote yang lebih tinggi. Meskipun begitu, sebuah penelitian terbaru mengenai gen virus yang disebut oncogenes (dari bahasa Yunani onkos yang berarti tumor), yang dapat menyebabkan hilangnya kontrol pembelahan sel normal, telah berhasil mengidentifikasi seperangkat gen homologous yang disebut protooncogenes didalam genome binatang normal, termasuk manusia. Sel Protooncogenes normal ini dapat diubah menjadi oncogenes sel yang menyebabkan tumor melalui mutasi atau menjadi berkaitan dengan urutan pengaturan baru melalui proses rekombinasi. Hal ini dan juga observasi terkait mengindikasikan bahwa fungsi sel normal protooncogenes melibatkan aspek spisifik pembelahan sel terkontrol. Pada kenyataannya, tampak terlihat bahwa terobosan dalam memahami kontrol normal pembelahan sel dapat diperoleh melalui penelitian tentang gangguan kontrol normal yang terdapat dalam sel kanker.
C. Protoonkogen Ditemukan atas Dasar Telaah Onkogen Virus
Protoonkogen adalah gen yang dimiliki sel normal yang berfungsi mengontrol proliferasi sel secara normal (Russel, 1992, dalam Corebima, 2008). Telaah terhadap onkogen-onkogen virus (v-onc) yang dapat menyebabkan hilangnya kontrol normal terhadap pembelahan sel, sudah terbukti membantu identifikasi adanya seperangkat gen pada genom hewan termasuk genom manusia yang terbukti homolog (Gardner dkk., 1991, dalam Corebima, 2008). Berbagai onkogen virus ternyata mempunyai banyak kesamaan dengan berbagai perangkat gen homolog pada genom hewan termasuk manusia. Perangkat gen yang homolog itu adalah gen-gen yang normal, dan disebut protoonkogen. Seperti halnya gen-gen normal pada umumnya, protoonkogen juga dapat mengalami mutasi karena berbagai sebab. Gen mutan protoonkogen itu disebut onkogen seluler (c-onc). Onkogen seluler ini tidak dapat mengontrol pembelahan sel secara normal.
Pada tahun 1970-an J.M. Bishop dan H. Varmus serta sejumlah peneliti lain telah menunjukkan bahwa sel-sel hewan yang normal ternyata mengandung gen-gen yang memiliki urut-urutan nukleotida yang sangat mirip dengan urut-urutan nukleotida onkogen virus. Lebih lanjut, menurut Corebima (2008) pada awal 1980-an R.A. Weinberg dan M. Wigler secara terpisah juga menunjukkan bahwa beberapa sel tumor manusia mengandung onkogen, dan onkogen-onkogen tsb. sangat mirip dengan onkogen-onkogen virus yang telah dikarakterisasi sebelumnya; demikian pula onkogen-onkogen manusia itu terbukti sangat mirip dengan gen-gen yang terdapat pada sel-sel normal. Gen-gen pada sel-sel normal yang sangat mirip dengan onkogen-onkogen itulah yang disebut protoonkogen sebagaimana yang telah dikemukakan; sedangkan onkogen-onkogen itu adalah c-onc.
Seperti diketahui, penyebab mutasi bermacam-macam, termasuk karena virus. Dalam hubungan ini diketahui sekurang-kurangnya terdapat tiga macam mekanisme yang berakibat terjadinya overekspresi produk gen. Onkogen seluler mungkin memperoleh sebuah promoter baru karena sesuatu sebab, misalnya karena virus, yang selanjutnya menyebabkan sesuatu lokus yang semula tidak aktif menjadi teraktifkan. Satu contoh yang terkait dengan mekanisme ini adalah leukosis burung (avion leucosis), yang terjadi karena insersi promoter virus yang kuat di dekat sebuah protoonkogen; dan sebagai akibatnya adalah terjadinya peningkatan produksi RNAd maupun peningkatan jumlah produk gen. Overekspresi produk gen dapat juga terjadi karena adanya tambahan urut-urutan regulator baru, termasuk enhancer, ke arah hulu. Amplifikasi protoonkogen dapat juga berakibat terjadinya overekspresi produk gen, disamping kedua mekanisme yang telah disebutkan. Sebagai contoh misalnya saat ini telah diketahui bahwa pada beberapa tumor manusia, ternyata protoonkogen c-myc telah teramplifikasi yang menghasilkan jumlah kopi hingga sebanyak beberapa ratus buah.
Efek mutasi terhadap protoonkogen bermacam-macam, termasuk yang hanya menyebabkan perubahan satu nukleotida (mutasi titik) yang berakibat terjadinya pergantian macam asam amino pada posisi tertentu. Satu contoh semacam itu misalnya ditemukan pada mutasi yang terjadi terhadap protoonkogen ras (Klug dan Cummings, 2000, dalam Corebima, 2008). Mutasi titik tertentu yang terjadi pada protoonkogen ras ternyata hanya menyebabkan terjadinya pergantian satu macam asam amino pada posisi 12 atau 61 dari ke 189 asam amino penyusun protein produk protoonkogen ras sebagaimana yang terlihat masing-masing pada onkogen K-ras, H-ras, dan N-ras.
Gambar 2.3 Contoh Mutasi Gen pada Protoonkogens Ras serta Dampaknya yang menyebabkan terjadinya pergantian satu macam asam amino
D. Identifikasi Onkogen-Onkogen Seluler
Identifikasi onkogen-onkogen seluler pada genom hewan tinggi termasuk manusia dilakukan dengan bantuan dua macam pendekatan eksperimental (Gardner, dkk., 1991, dalam Corebima, 2008). Pendekatan pertama adalah dengan cara mencari urut-urutan DNA seluler yang dapat berhibridisasi dengan onkogen virus hewan; sedangkan pendekatan yang kedua adalah dengan cara mencari onkogen-onkogen tersebut. secara langsung pada genom sel-sel kanker melalui eksperimen transfeksi. Pada eksperimen transfeksi ini, DNA sel-sel tumor diisolasi kemudian ditambahkan kepada sel-sel kultur jaringan, untuk melihat apakah DNA tsb. akan mengubah beberapa sel itu menjadi sel-sel kanker.
Berikut ini akan dipaparkan langkah-langkah kerja pada pendekatan pertama khusus yang terkait identifikasi onkogen src. Seperti diketahui, onkogen pertama yang diidentifikasi pada genom RSV yang diisolasi dari ayam adalah onkogen src atau yang lazimnya disebut v-onc src. Onkogen src virus tsb. selanjutnya digunakan sebagai templat pada proses transkripsi balik yang dikatalisasi oleh enzim reverse transcriptase. Fosfor asam fosfat nukleotida yang digunakan pada proses transkripsi balik itu sudah diberi label radioisotope 32P. Oleh karena itu cDNA yang terbentuk melalui transkripsi balik itu bersifat radioaktif, dan cDNA yang bersifat radioaktif itu selanjutnya digunakan sebagai pelacak (probe) pada eksperimen hibridisasi Southern Blotting. Pada ekksperimen hibridisasi itu cDNA tsb. dihibridisasikan dengan unting tunggal genom DNA normal (setelah heliks ganda dipisahkan menjadi unting-unting tunggal). Hasil hibridisasi Southern Blotting memperlihatkan bahwa cDNA tersebut berhibridisasi dengan fragmen-fi-agmen restriksi spesifik pada DNA genom di setiap kali eksperimen. Hasil yang sama selalu ditemukan pada DNA genom ayam apapun. Lebih lanjut urut-urutan DNA genom yang berhibridisasi dengan cDNA tersebut selalu ditemukan juga pada seluruh Vertebrata, bahkan pada D. melanogaster.
Eksperimen-eksperimen lanjutan memperlihatkan bahwa DNA genom yang berasal dari sel-sel normal seluruh hewan tinggi mengandung urut-urutan DNA yang secara esensial berhibridisasi dengan seluruh urut-urutan onkogen retrovirus; bahkan pada beberapa kasus, urut-urutan yang homolog terhadap v-onc (misalnya ras) ditemukanjuga pada eukariot rendah semacam S. cerevisiae. Dalam bubungan ini sudah dibuktikan juga bahwa DNA genom yang berhibridisasi dengan cDNA itu bukanlah urut-urutan provirus yang terintegrasi dengan DNA genom, tetapi memang benar-benar merupakan urut-urutan DNA genom sel. Sebagaimana yang telah dikemukakan, urut-urutan DNA genom tersebut itulah yang disebut sebagai cellular oncogen atau c-onc.
Pendekatan deteksi cellular oncogen yang kedua adalah melalui eksperimen transfeksi. Pendekatan eksperimen transfeksi ini didasarkan pada kemampuan onkogen untuk mengubah sel-sel normal (tidak bersifat kanker) yang ditumbuhkan pada kultur menjadi sel-sel kanker. Fenomena perubahan semacam itu disebut sebagai transformasi (jangan disamakan dengan transformasi rekombinasi).
Gambar 2.4 Prosedur Eksperimen Transfeksi yang Mengubah (Mentransformasi) Sel-Sel Normal Menjadi Sel-Sel Kanker
Fenomena transformasi sel-sel normal menjadi sel-sel kanker mengindikasikan telah terjadinya mutasi terhadap protoonkogen menjadi onkogen seluler, akibat pengaruh onkogen seluler pada eksperimen transfeksi. Berkenaan dengan hal ini Lewin , 2000, dalam Corebima, 2008 menyatakan bahwa prinsip umum kerja eksperimen transfeksi adalah bahwa substitusi pada urut-urutan pengkode dapat mengubah suatu protoonkogen menjadi suatu onkogen.
Eksperimen transfeksi ini biasanya berupa transfeksi DNA sel-sel NIH-3T3 (Turner, dkk., 1997; Lewin, 2000, dalam Corebima, 2008). Sel-sel ini adalah suatu galur sel permanen dari fibroblast mencit (berupa jaringan ikat yang tumbuh baik pada kondisi in vitro). Sel-sel NIH-3T3 ini sudah terbukti tidak berkembang menjadi sel-sel tumor manakala diinjeksikan ke dalam tubuh mencit yang tidak memiliki system imun. Pola pertumbuhan sel-sel NIH-3T3 pada kultur bersifat normal (tidak bersifat kanker). Dalam hubungan ini sel-sel NIH-3T3 ditransfeksikan dengan DNA yang hendak diperiksa. Cara yang dilakukan adalah DNA itu dituangkan ke atas sel-sel sebagai suatu endapan halus, sehingga memungkinkan beberapa sel mengambil dan mengekspresikan DNA asing itu. Apabila DNA asing itu mengandung sesuatu onkogen, maka pola pertumbuhan sel-sel pada kultur akan berubah, yang memperlihatkan karakteristik sel-sel kanker.
Kelebihan dari eksperimen transfeksi yang menggunakan sel-sel NIH-3T3 akan dipaparkan lebih lanjut (Turner, dkk., 1997, dalam Corebima, 2008): a) Uji ini adalah suatu uji kultur sel dan bukan suatu uji hewan utuh, dan dengan demikian sesuai untuk memeriksa sejumlah besar sampel. b) Hasil diperoleh jauh lebih cepat disbanding pada uji in vivo. c) Sel-sel NIH-3T3 baik digunakan untuk mengambil/menangkap serta mengekspresikan DNA asing. d) Secara teknis uji ini merupakan suatu prosedur sederhana dibanding pada uji in vivo.
Di lain pihak kekurangan dari eksperimen transfeksi yang menggunakan sel-sel NIH-3T3 adalah seperti di bawah ini (Turner, dkk., 1997, dalam Corebima, 2008): a) Beberapa onkogen mungkin bersifat spesifik terhyadap tipe-tipe sel tertentu sehingga tidak dapat dideteksi dengan fibroblast mencit. b) Gen-gen yang berukuran besar mungkin akan hilang karena kurang sesuai ditransfeksikan secara utuh. c) Sel-sel HIH-3T3 bukan merupakan sel-sel "normal" karena merupakan suatu galur sel permanen, sehingga gen yang dilibatkan pada tahap awal karsinogenesis mungkin hilang. d) Uji ini tergantung pada gen tertransfeksi yang bekerja dalam suatu pola gen dominan, sehingga tidak akan mendeteksi gen-gen suppressor tumor.
E. Produk Protoonkogen adalah Regulator Utama Pembelahan Sel
Selama beberapa tahun terakhir, sejumlah besar informasi tentang struktur dan fungsi berbagai protoonkogen telah terungkap. Satu-satunya sifat yang menyatukan gen-gen ini sebagai satu kelompok adalah bahwa semuanya memainkan peran sentral terhadap control pembelahan sel. Terkait dengan peran berbagai protonkogen terhadap control pembelahan sel, secara normal gen-gen itu berfungsi pada tingkat rendah, tetapi jika sudah berubah (baca onkogen seluler atau c-onc) maka gen-gen tersebut berfungsi pada tingkat yang tinggi (Tamarin dkk., 1991, dalam Corebima, 2008). Pemahaman tentang peran dari protoonkogen dan onkogen seluler semacam itu juga ditemukan pada Klug dan Cummings, 2000, dalam Corebima, 2008. Dikatakan bahwa dalam rangka meregulasi pembelahan sel, protoonkogen-protoonkogen ataupun produknya harus mengalami inaktivasi (baca sebagai aktivasi pada tingkat yang rendah); dan jika protoonkogen-protonkogen itu secara permanen digiatkan (baca sebagai aktivasi pada tingkat yang tinggi), maka terjadilah pembelahan sel yang tidak terkendali yang berakibat terbentuknya tumor. Lewin (2000) juga menyatakan bahwa protoonkogen-protoonkogen ras dapat diaktifkan oleh mutasi; dikatakan pula bahwa insersi, translokasi, atau amplifikasi dapat mengaktifkan protoonkogen-protoonkogen. Demikian pula, Turner, dkk., (1997, dalam Corebima, 2008) menyatakan bahwa versi normal dari onkogen seluler yang disebut protoonkogen, jika mengalami mutasi maka akan menjadi overaktif; dan karena bersifat overaktif, secara genetic onkogen-onkogen seluler dominan terhadap protoonkogen, dan itulah alasannya bahwa sekalipun hanya satu kopi, tetapi satu-satunya kopi itu sudah mampu membuat perubahan perilaku sel.
Dalam hubungan ini terlihat bahwa satu-satunya alasan dugaan peran protoonkogen terhadap control pembelahan sel, adalah bahwa dari laporan-laporan telaah sebelumnya, onkogen-onkogen dari protoonkogen-protoonkogen terkait memang bersifat onkogenik; dalam arti bahwa onkogen-onkogen itu menimbulkan transformasi pada eksperimen transfeksi. Oleh karena itu memang beralasan kalau Lewin, 2000, dalam Corebima, 2008 menyatakan bahwa kita dapat bertanya tentang aktivitas apa yang dilaksanakan oleh produk-produk protoonkogen dalam sel yang normal, demikian pula tentang bagaimana aktivitas produk-produk protoonkogen yang telah berubah pada sel yang mengalami transformasi. Lebih lanjut dipertanyakan pula, apakah beberapa protoonkogen merupakan regulator perkembangan normal, sebaliknya malfungsi dari protoonkogen itu berakibat terhadap penyimpangan pertumbuhan yang termanifestasi sebagai tumor; bahkan dikatakan lagi bahwa sekalipun kita sudah menyimak beberapa contoh hubungan antara protoonkogen dan fungsi sebagai regulator perkembangan normal, tetapi kita belum memiliki suatu pemahaman yang sistematik terhadap hubungan itu.
Berbagai protoonkogen tampaknya dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok (Gardner, dkk., 1991, dalam Corebima, 2008). Kelompok pertama adalah protoonkogen ysmg mengkode factor pertumbuhan (misalnya c-sis) atau yang mengkode reseptor factor pertumbuhan (misalnya c-fms dan c-erbB). Kelompok kedua adalah protoonkogen yang mengkode protein pengikat GTP yang memiliki aktivitas GTPase (misalnya c-H-ras, c-K-ras dan N-ras). Kelompok protoonkogen ketiga adalah yang mengkode protein kinase, berupa protein kinase yang spesifik tirosin atau yang spesifik serin-threonin. Protookogen pengkode protein kinase spesifik tirosin adalah c-abi, c-fes, c-fgr, c-fps, c-ros, c-src dan c-yes; sedangkan yang mengkode protein kinase spesifik serin-threonin adalah c-mil, c-mos, dan c-raf. Di lain pihak kelompok protoonkogen keempat adalah pengkode protein regulator transkripsi seperti c-fos, c-jun, c-erbA, c-myc, serta mungkin c-myb, dan c-ets.
Pengelompokkan protoonkogen pada somber rujukan lain dapat tidak tepat sama. Satu contoh pengelompokkan yang tidak tepat sama itu ditunjukkan berikut. Berikut ini dikemukakan mekanisme kerja protoonkogen yang diyakini memperlihatkan peran dari gen-gen tersebut terhadap control pembelahan sel eukariot. Paparan tentang peran dari gen-gen terutama didasarkan pada Gardner, dkk, 1991 dalam Corebima, 2008, yang dilengkapi dengan informasi sumber lain. Sebagaimana yang telah dikemukakan, mekanisme kerja dari sebagian protoonkogen (individual maupun kelompok) memperlihatkan perannya yang jelas terhadap control pembelahan sel, tetapi sebagian lainnya kurang jelas.
Gen pengkode factor pertumbuhan seperti protoonkogen sis mengkode sebagian factor pertumbuhan PDGF (platelet-derived growth factor) yang dikeluarkan kalau ada jaringan yang terluka. Dalam hal ini satu dari antara ke dua polipeptida penyusun protein PDGF dikode oleh protoonkogen sis. Seperti diketahui, PDGF hanya berpengaruh terhadap satu tipe sel yaitu sel-sel fibroblast, yang menjadi bagian dari sistem penutupan luka. Hubungan antara PDGF sudah diungkap pada kajian eksperimental; gen PDGF yang telah diklon dimasukkan ke dalam sel fibroblast yang pada keadaan normal tidak membuat PDGF, dan sebagai akibatnya adalah bahwa sel fibroblast itu mengalami transformasi menjadi sel tumor (Russel, 1992, dalam Corebima, 2008). Sebagaimana yang telah dikemukakan, gen pengkode protein reseptor factor pertumbuhan adalah erbB dan fms. Prototip struktur dari produk protoonkogen seperti erbB dan fins yang memiliki aktivitas protein kinase spesifik tirosin intraseluler ditunjukkan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Bagan Struktur Prototip Reseptor Faktor Pertumbuhan Transmembran yang Memiliki Aktivitas Protein Tirosin Kinase
Peran dari reseptor factor pertumbuhan diduga bersangku-paut dengan transfer signal dari permukaan sel menuju ke inti sel (Gardner, dkk., 1991, dalam Corebima, 2008). Dalam hal ini reseptor tersebut mengikat factor pertumbuhan pada tapak pengikatan yang terdapat di permukaan luar sel. Lebih lanjut reseptor itu mengirim sebuah signal menuju ke tapak tirosin kinase di bagian dalam sel, terutama melalui suatu transisi alosterik. Dampak berikutnya adalah tirosin kinase teraktivasi sehingga menginduksi fosforilasi protein intraseluler utama. Aktivasi tapak tirosin kinase mungkin melibatkan autofosforilasi, karena protein kinase reseptor itu sudah diketahui mengalami autofosforfilasi yang reversibel dari residu tirosin spesifik di dekat ujung COOH dari protein dalam sel.
Protein protoonkogen src maupun produk dari beberapa protoonkogen lain yang masih tergolong sekelompok, juga memiliki aktivitas protein kinase yang spesifik tirosin., sekalipun tidak bersifat transmembran. Protein kinase yang dikode oleh protoonkogen src, sehingga gen itu disebut juga sebagai protoonkogen pp60src (Russel, 1992, dalam Corebima, 2008). Seperti diketahui enzim protein kinase berfungsi mengkatalisasi penambahan gugus fosfat terhadap protein. Terkait protein kinase spesifik tirosin, enzim itu mengkatalisasi penambahan gugus fosfat pada asam amino tirosin yang menjadi komponen protein. Dilaporkan juga bahwa protein yang mengalami fosforilasi pada residu tirosinnya tampaknya bersangkut-paut dengan wujud sitoskeleton (wujud sel yang normal berbeda dari sel yang telah mengalami transformasi), serta dilibatkan pula pada proses glikolisis. Protein-protein itu berasosiasi dengan permukaan sitoplasmik dari membrane plasma. Protein-protein kinase itu juga terlibat dalam transduksi signal, tetapi signal apa yang direspon maupun bagaimana transmisinya belum diketahui, sekalipun sangat beralasan untuk menduga bahwa fosforilasi target protein intraseluler yang utama juga merupakan cara kerja produk-produk protoonkogen itu.
Sebagaimana yang telah dikemukakan, onkogen-onkogen (termasuk protoonkogen) ras adalah gen pengkode protein pengikat GTP yang memperlihatkan aktivitas GTPase, dan yang mungkin analog dengan protein G. Lewin (2000, dalam Corebima, 2008) menyatakan bahwa produk protoonkogen ras adalah protein pengikat nukleotida berbasa guanine yang monomerik, yang aktif bilamana berikatan dengan GTP, sedangkan menjadi tidak aktif jika berikatan dengan GDP. Turner dkk., (1997, dalam Corebima, 2008) juga menyatakan bahwa protein produk protoonkogen normal berikatan dengan GTP jika teraktivasi, dan menjadi tidak teraktivasi oleh aktivitas GTPase sendiri; sebaliknya pada onkogen ras (yang sudah mengalami mutasi titik) aktivitas GTPase terhambat, sehingga protein produk onkogen terus aktif.
Produk dari protoonkogen jun dan fos sudah diketahui merupakan komponen protein inti dan berperan sebagai activator dari proses transkripsi gen. Protein produk dari protoonkogen jun dikenal seba factor transkripsi AP-1 (Gardner, dkk., 1991, dalam Corebima, 2008). Protein itu pertama kali diidentifikasi sebagai suatu factor di dalam inti yang dibutuhkan untuk transkripsi yang diinduksi oleh senyawa penyebab tumor tertentu. Faktor transkripsi AP-1 atau yang disebut juga sebagai pjun sudah diketahui secara spesifik berikatan pada elemen enhancer genom virus SV40 maupun pada enhancer gen HA metallothionein manusia. Tapak pengikatan pjun sudah diketahui pula memiliki urut-urutan consensus TGACTCA. Lebih lanjut bahkan saat ini sudah diketahui pula bahwa produk protoonkogen fos ternyata membentuk suatu kompleks yang kuat dengan produk protoonkogen pjun.
Protein produk dari protoonkogen-protoonkogen itu kaya akan asam amino leusin, yang mempunyai potensi untuk membentuk daerah-daerah heliks α yang memiliki rantai samping menjulur keluar dari permukaan heliks yang sama pada interval-interval yang beraturan. Protein-protein semacam itu diduga berinteraksi dengan cara membentuk apa yang disebut sebagai ritsleting leusin atau "leucine zipper".
Gambar 2.6 Interaksi antara pjun dan pfos
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar